Cuma Kenapa Mesti Dedi Mulyadi Turun Kelas?
PEMKAB Purwakarta, melalui anggota DPR RI Dedi Mulyadi lagi gencar-gencarnya menata parkir di aset-aset milik Pemerintah. Tujuannya jelas, agar aliran dana parkir seoptimal mungkin masuk ke kas Daerah. Cuma, siapa untung, siapa buntung?
Struktur APBD Purwakarta memang lagi penyakitan. Penyebabnya tiga hal. Pertama, terpaan wabah Corona yang sempat meluluh lantakan perekonomian dan industri di sini. Kedua, fundamental ekonomi Purwakarta yang rapuh seperti kerupuk dan ketiga Bupati yang miskin inovasi dan kreativitas.
Jadi, ketika dalam rentang dua tahun Purwakarta digabuk Corona, pertumbuhan ekonomipun minus 2% pada 2021, pengangguran meningkat tajam, angka kemiskinan tembus 41%. Meroketnya angka kemiskinan hasil kajian Poros Gerakan Mahasiswa Purwakarta berbasis data BPS tentu sangat mengejutkan.
Selama ini jumlah penduduk miskin di Purwakarta pada 2019 sebanyak 71.860 jiwa (7,48%). Satu tahun setelah itu, persisnya pada 2020 mereka yang miskin naik menjadi 80.170 orang atau (8,27%). Trendnya naik terus. Sangat memprihatinkan.
Sakitnya struktur APBD Purwakarta itu mudah sekali mengukurnya. Nyaris 80% jalan-jalan Kabupaten dan jalan kampung rusak, berlubang dan kalau hujan berubah fungsi menjadi kubangan kerbau. Titik banjir dan genangan juga meluas. Pada lokasi-lokasi strategis, seperti sekeliling Situ Buleud, jalan Raya Sadang Subang, jalan Ipik Gandamanah sudah menjadi langganan banjir.
Ada beberapa titik longsor yang sudah berbulan-bulan terjadi tapi oleh Pemkab dibiarkan saja. Seperti longsor di Desa Cilalawi Wanayasa, sampai sekarang dibuat tidak jelas. Belum soal jembatan roboh di Maniis.
Kenapa itu bisa terjadi? Inti masalahnya di struktur APBD yang sakit-sakitan.
Bupati tentu panik dengan keadaan ini. Maka dari itu jalan satu-satunya adalah menggenjot PAD dari dalam. Sayangnya problem kapasitas menjadi persoalan pribadi Bupati.
Berharap ada inovasiatau pikiran cerdas dari Bupati berlatar Ibu Rumah Tangga, tentu seperti si pungguk merindukan bulan. Kondisi ini diperparah dengan sikap mental Kepala Dinas Perhubungan yang memble.
Jalan satu-satunya memang hanya Dedi Mulyadi. Dengan kapasitas yang ada, penataan parkir memang berjalan lancar. Target sementara terpenuhi. Tapi hanya sementara.
Dari satu titik parkir rata-rata Rp 200 ribu, selama ini dana parkir ini mengalir ke Dishub Rp 60 ribu, ke petugas parkir Rp 50 ribu dan sisanya ini yang keren; Mengalir ke Preman parkir Rp 110 ribu.
Kata Dedi,”Ini ada yang kerjanya tidur tapi dapat bagian paling besar.” Oleh Dedi, saat nego dengan para tukang parkir, bagi hasil dibagi dua; Petugas Parkir mendapat Rp 100 ribu, yang masuk ke Dishub menjadi Rp 100 ribu.
Kelihatan win-win memang. Tapi percayalah, keputusan sepihak ini pasti bersifat sementara. DM boleh saja memaksa tukang parkir untuk mengubah pola bagi hasil dengan mengenolkan setoran ke para raja jalanan itu. Tapi percayalah, keputusan itu hanya berumur sejagung putren.
Kenapa itu bisa terjadi? Bukti lapangan sudah ada. Saat Dedi menggusur pedagang kaki lima di pasar-pasar Purwakarta atas nama ketertiban dan kebersihan? Apakah problem itu selesai? Ternyata tidak.
Wakil Ketua Komisi IV ini perlu datang berulang-ulang untuk menata kembali, untuk marah-marah lagi, untuk ngomel-ngomel lagi kenapa kembali berdagang di trotoar lagi dan lagi. Capek dan membosankan. Sebagai anggota DPR RI, kelasnya jadi terjun bebas. Miris tentunya.
Kenapa itu bisa terjadi? Karena langkah Dedi tanpa kajian mendalam. Modalnya hanya status dan youtube. Bukan konsep menyeluruh. Apalagi yang dihadapi adalah urusan perut. Kebutuhan yang paling mendasar manusia.
Kasus parkir akan mengalami hal yang sama. Ini soal waktu saya. Bahkan ini akan lebih cepat berantakannya. Karena ada sekelompok raja jalanan yang sangat terusik pendapatannya.
GANTI KEPALA DINAS
Kalau ingin urusan parkir dan penataan pedagang beres, satu-satunya jalan dengan Peraturan Daerah (Perda) yang jelas tata kelolanya. Bupati tidak bisa terus menerus mengandalkan suaminya. Karena sehabat apapun DM dia manusia biasa yang bisa lelah.
Dengan Perda, aturan main menjadi jelas. Tapi tentu dengan banyak catatan. Saat pembahasan libatkan sebanyak mungkin stakeholders, agar kualitasnya benar-benar bagus dan berdaging.
Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah mengganti pejabat yang tidak becus bekerja. Sudah tahu ada kebocoran besar-besaran di perparkiran, hanya didiamkan saja. Perlu pejabat setingkat kepala Dinas yang punya inovasi dan strong leadership. Ini karena Bupatinya telanjur seperti itu kualitasnya.
Kalau dua hal itu tidak terjadi, maka problem sakitnya struktur APBD akan terus berulang dan berulang. Dan perlu dicatat; Mengandalkan Dedi untuk terjun langsung menata apapun persoalannya, itu sungguh langkah yang sangat memalukan. (newspurwakarta.com) editor: gsoewarno