“Kelak yang akan Dia Lawan adalah Dirinya Sendiri.”
DEDI Mulyadi kini lagi memerankan diri seperti Rambo. Jagoan Amerika sana yang tidak terkalahkan itu. Itupun karena terpaksa, ibarat telanjur terlilit oleh rating di Youtubenya, mesti terus dipertahankan. Bisa dengan menjual kemiskinan atau pura-pura melabrak kebijakan yang bengkok.
Intinya pukul dulu. Urusan belakangan. Yang penting rating terjaga. Dapat popularitas dapat grojogan duit sebagai youtuber. Tidak penting apakah tingkahnya telah merugikan orang lain apa tidak, mempermalukan lembaga bahkan membuat publik geram apa tidak.
Dedi yang saat berkuasa diujung kekuasaannya meninggalkan banyak masalah keuangan, mendadak jadi Resi. Merasa paling suci, dan sok paling kuasa. Padahal pada hakekatnya dalam konteks Purwakarta dia bukan siapa-siapa.
“Dedi Mulyadi mesti banyak belajar budaya Jawa yang agung. Bahwa Urip itu Urup. Bahwa mengoreksi tidak cukup Bener, tapi juga harus Pener.”
Dedi kadang memerankan dirinya laiknya Bupati yang masih berkuasa. Lihat saat menghentikan galian ilegal oleh satu pengembang.
DM, sapaan anggota DPR Ri ini, sampai datang tiga kali. Dia eksekusi langsung penghentiannya. Dia panggil Satpol PP, Kadis PMPTSP. Bahkan truk yang sudah memuat Dedi paksa bongkar saat itu juga.
Dia lupa bahwa bisnis itu perlu untung. Sopir truk tanah itu perlu ada pendapatan buat anak isteri. Bahwa mereka tanpa izin itu ya. Tapi caranya bukan brutal seperti itu. Mesti dibuka jalur dialog dan kasih jalan keluarnya.
Lihat saat mengobrak abrik Pasar Senin. DM lagi-lagi jadi eksekutor. Kepala Badan BKSDM pun hadir mendampinginya. Padahal apa urusannya.
DM kembali langsung menjadi eksekutor. Lagi-lagi Satpol PP hadir, Kabid Perdagangan hadir. Padahal yang dia urus itu adalah urusan isterinya yang sekarang mewarisi kursinya sebagai Bupati.
Terakhir ketegangan antara DM dan Baznas. Tentu Baznas terpukul. Citranya jadi tercoreng, ibarat ada orang miskin yang tidur di emperan kantor Baznas kok tidak diurus. Warung yang kumuh dibongkar atas nama keindahan.
DM lupa bahwa warung itu sudah ada sejak dia masih menjabat sebagai Bupati. Jadi ngeri-ngeri sedap.
CERMIN DIRI
Lalu, apakah yang dilakukan DM itu salah? Sepanjang itu atas nama pribadi tentu baik-baik saja. Tapi DM mesti banyak belajar Budaya Jawa yang agung. Bahwa lelaku Bener mesti harus Pener.
Apalagi publik sebenarnya tahu, ketika DM memberangus galian pasir, mengobrak abrik pedagang pasar dan memukul secara telak Baznas, kalau dia jujur sebenarnya itu refleksi diri.
Galian ilegal adalah bukti bahwa kekuasaan isterinya sebagai Bupati lemah dalam pengawasan. Bahwa pedagang pasar yang lebih suka berjualan di jalan adalah bukti, saat membangun pasar itu DM tidak memplanning dengan sempurna.
Bahwa debat soal aturan menangani orang miskin dengan panggilan hati nurani adalah cermin diri bahwa saat berkuasa banyak regulasi yang dilabrak DM yang mengimbas ke tata kelola manajemen Pemkab yang berantakan.
Menata siapapun boleh. Tapi mesti Pener. Tidak cukup dengan dalih Benar doang.
Bener tanpa Pener itulah yang menyebabkan DM selalu menjadi bahan tertawaan di sudut-sudut warung kopi, dan perdebatan luas di Medsos.
DM lupa bahwa dia sudah naik kelas. Sudah jadi tokoh nasional. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI. Yang secara kewenangan sebenarnya lebih luas, keren dan joz.
Tapi itulah Dedi, selalu kekanak-kanakan dan imut. Masih haus pujian. Sehingga langkah yang Bener selalu tanpa Pener. Langkah Bener yang masih dilandasi arogansi, haus pujian, berdampak pada merendahkan martabat orang lain dan lembaga. Jauh dari nilai-nilai kebajikan.
Berbudayalah dengan paripurna. Khasanah Sunda pasti banyak. Bergegaslah untuk segera sadar dan tahu diri bahwa anda itu sudah naik kelas. Tugas negara yang lebih berdampak luas itu telah memanggilmu.
Jangan terus terjebak pada tindakan lokal. Agar marwahnya sebagai anggota DPR ada rasanya, buat banyak orang.
Banyak-banyaklah bercermin. Agar yang anda koresi tidak malah jadi pukulan balik yang menyakitkan.
Karena Urip itu mesti Urup. Tindakan hidup itu mesti menentramkan banyak orang. Apapun koreksi yang dilakukannya. Selama tingkahnya masih memburu pujian, pada hakekatnya DM sudah menempatkan Youtube sebagai Tuhannya.
Siapapun tahu, Tuhan di akherat kelak tidak akan bertanya,”Hai DM followermu berapa?”
Mengoreksi orang lain itu gampang. Tapi mau membongkar diri untuk sebuah koreski sungguh susahnya minta ampun. Jadi DM, kapan anda mau naik kelas? (newspurwakarta.com) editor : gtsoewarno