News Purwakarta – “Jika ingin tahu seluk-beluk Situ Buleud, Abah Edi adalah orang yang tepat. Abah ini kuncennya Situ Bleud,” komentar penjual batagor yang mangkal di sebelah Abah Edi.
Abah Edi, begitulah orang-orang sekitaran Situ Buleud memaggilnya. Edi Rosadi atau Abah Edi adalah penjual kopi yang mangkal di depan kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Khez. Muttaqin, Situ Buleud, Purwakarta. Rambut putih yang ditutupi topi dan kulit keriput menjadi ciri khas Abah Edi menjajakan dagangannya. Usia tua dan badan gemuknya membuatnya berjalan tertatih-tatih.
Maka dari itu, Abah Edi lebih memilih mangkal daripada berkeliling. Gerobak kecil sederhana dengan berbagai peralatan seperti termos dan kotak pendingin; juga berbagai macam minuman serta makanan ringan menjadi modal Abah Edi dalam mencari nafkah.
Abah Edi lahir di Cianjur dan memutuskan ke Purwakarta pada tahun 1970an.
“Saya mau ke Purwakarta aja susah. Harus nunggu berjam-jam di Padalarang baru bisa masuk. Angkutan umum di Purwakarta pun sangat jarang dan harus nunggu lagi sekitar setengah jam.” Ucap Abah Edi.
Abah Edi pernah bekerja sebagai pegawai pabrik Indobarat pada tahun 1983. Dengan gaji 35 ribu, Abah Edi menafkahi istri dan 7 anaknya. Nyatanya, hal itu tidaklah cukup. Abah Edi mulai berdagang untuk mencari rezeki tambahan.
Peralihan Bupati ke H. Bunyamin Dudih membuat kehidupannya lebih baik. Pada tahun 1999, Abah Edi memutuskan untuk berhenti bekerja di pabrik dan fokus berdagang. Lantaran polusi pabrik yang sangat buruk menurunkan kesehatannya.
Abah Edi memulai berdagang di Situ Buleud pada awal tahun 2000. Waktu itu, Situ Bileud bukanlah tempat pariwisata yang kita kenal hari ini. Situ Buleud saat itu sangat sepi, juga banyak sekali opnum yang berbuat buruk. Minuman keras dan prostitusi merupakan hal yang lumrah pada saat itu, banyak pula laki-laki yang berperangai perempuan berkeliling.
Awalnya, Abah Edi seringkali berkonflik dengan opnum bahkan mendapat teguran dari satpol-PP. Terus menerus mendapatkan tekanan dari opnum dan satpol-PP, menjadikan Abah Edi frustasi. Ditambah dengan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dari 7 orang anak.
Menafkahi keluarganya merupakan suatu hal yang cukup sulit. Abah Edi berkomentar bahwa, untuk anak jaman sekarang bahkan tidak akan terbayang memiliki 7 anak, dari kaki sampai kepala semuanya sakit. Hal itu tidak menurunkan semangat Abah Edi dalam mencari nafkah. Malahan, ke-7 anak inilah yang menjadi semangat dan motivasinya dalam menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Setelah 3 bulan, Abah Edi mendapat beberapa langganan. Konsistensi Abah Edi tetap terjaga selama ini menjadikan gerobak Abah Edi mendapat banyak langganan, tak sedikit dari geng motor, seperti Black, Moonraker dan Vespa.
Kesenangan Abah Edi bertambah ketika mantan bupati Dedi Mulyadi pernah menjanjikannya untuk dibuatkan warung sebagai ganti lapaknya yang akan dibangun tembok. Namun, janji itu ditunaikan dengan uang 5 juta karena tidak ada tempat lagi.
Tentu saja hal ini merupakan kerugian bagi Abah Edi. Setelah perjuangannya selama beberapa tahun, langganannya pergi dan tak tahu bahwa Abah Edi pindah.
Mereka mungkin tinggal pindah ke pedagang lain, tapi mereka tak akan peduli dengan langganannya selama beberapa tahun, ucap Abah Edi.
Kekecewaan Abah Edi hanya sampai dirinya saja dan hanya bisa bersyukur. Usaha Abah Edi kembali naik ketika mendapat tempat di depan sekolah tinggi dan mendapat banyak langganan dari mahasiswa dan dosen dari sana.
Abah Edi berkomentar bahwa sampai saat ini, banyak orang yang merasa iri dengan Abah Edi karena mendapat tempat strategis. Namun hal itu tidak digubris oleh pria dengan 7 anak ini.
“Udah tua itu pengen usaha dengan tenang, gak mau diganggu. Pengennya usaha di warung, tidak kepanasan atau kehujanan, bisa juga tiduran untuk istirahat. Hidup itu adil, pegawai pabrik kopi digaji pabrik; kopi dibeli oleh kami dan dijual kembali. Masing-masing dapat untung, bahkan orang yang berjalan-jalan bisa meminum kopi.” Ucap Abah Edi. (dan) editor: gtsoewarno