Oleh : Guntoro Soewarno, Jurnalis
KEMARIN PURWAKARTA ulang tahun ke 190. Sementara Kabupaten Purwakarta ulang tahun ke 53. Umur yang matang. Meski gaya berkuasa dan pembangunannya masih kekanak-kanakan. Dugaan korupsi sudah mengurat akar. Politik berbasis dinasti. Satu bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi yang mestinya bermartabat.
Refleksi ini adalah tulisan pertama yang akan mengulas dua proyek besar di Purwakarta; Air Mancur Sri Baduga dan Masjid Tajug Gede Cilodong. Selamat menikmati.
***
Tengoklah air mancur Sri Badiga di Situ Buleud sana. Air mancur ini super megah. Dulu Dedi Mulyadi saat masih menjabat sebagai Bupati membangun air mancur terbesar se Asia Tenggara ini sangat menguras APBD dalam beberapa tahun.
Dulu air mancur ini sangat megah. Perancangnya adalah Iwan Soeroso, saat menjabat sebagai Kabag Pembangunan di Setda Purwakarta. Iwan adalah pejabat yang hobi Motor Gede (Moge). Kini Ia Kepala Dinas Perhubungan di Pemkab Purwakarta.
Dulu air mancur ini didesain sebagai tujuan wisata. Tiap Sabtu dan Ahad pengunjung membanjir. Target kunjungan wisata 1 juta orang per tahun pada akhir 2018 tercapai.
“Birokrasi yang dikendalikan politik dinasti hanya melahirkan korupsi dan pembangunan dengan proyek-proyek besar tanpa visi.”
Ekonomi rakyat bertumbuh. Wisata kuliner sangat dinikmati pedagang kecil. Juga tukang parkir.
Tapi di sisi lain Pemkab secara keuangan megap-megap. Karena boros. Untuk menggerakan turbin listrik saja per bulan mesti menggelontorkan kas dari APBD Rp 100 juta. Belum soal pemeliharaan. Mahal bener.
KAYA KUBURAN
Cobalah datang ke Air Mancur Sri Baduga saat hujan deras. Kita akan menyaksikan jalan lingkar wisata itu berubah fungsi menjadi sungai dadakan. Banjir. Akibat gotnya mampet.
Bisa jadi saat dibangun dulu saluran air itu tidak sesuai daya dukung. Lebih kecil dan dangkal. Wajar kalau air kemudian meluber ke jalan-jalan. Wisata yang sangat diandalkan itu sekarang sering banjir. Sungguh menyedihkan.
Air mancurnya juga sudah lama tidak beroperasi. Mati. Kayak kuburan. Bangku-bangku pada keropos. Rusak dimakan rayap.

Pemkab membiarkan saja karena tidak ada uang untuk pemeliharaan. Lihatlah ke fasilitas toiletnya. Jorok dan pada rusak.
Publik juga tidak boleh lupa. Bahwa proyek raksasa untuk ukuran daerah ini juga sarat dengan dugaan korupsi. Pada sisi pembangunan mekanik dan elektrik pernah jadi sasaran Kejati Jabar.
Puluhan pejabat diperiksa. Perusahaan pemenang tender dari Indramayu juga diperiksa. Tapi kasus ini menguap entah kenapa. Pernyataan SP3 dari Kejati hingga kini juga tidak ada.
Kini air mancur itu teronggok sepi. Konstruksi pipa-pipanya mulai karatan. Patung Kian Santang yang ada di tengah air mancur itu jadi kusam. Wajahnya memancarkan duka lara. Karena merasa tersia-sia.
Efek ekonomi ke pedagang kecil sirna. Target wisatawan meleset drastis. Sementara Pemkab Purwakarta hanya bisa diam. Karena tidak cukup punya uang.
NASIB AKAN SERUPA
Proyek besar lain yang dibangun tanpa visi adalah Masjid Tajug Gede Cilogong di Kopo sana. Ini masjid dibangun masa transisi kepemimpinan Dedi Mulyadi ke isterinya Anne Ratna Mustika.
Konsepnya Wisata Religi. Dengan dana besar masjid ini sejak awal dibangun asal-asalan. Tidak hanya tanpa Visi, tapi juga tanpa planning yang benar. Dua tahun setelah dibangun baru Bupati Anne menunjuk Kepala Dinas Perumahan, Tata Ruang dan Permukiman Agung Wahyudi membuat road mapnya. Sungguh perilaku yang ajaib.
Masjid ini dibangun dengan cacat hampir disemua lini. Soal legalitas misalnya. Sampai sekarang belum jelas.
Komunitas Peduli Purwakarta (KPP) pernah menelisik duduk perkara soal legalitas proyek masjid ini. Dan terbukti tidak ada produk apapun yang memayungi secara hukum.
Efek dari ketidakjelasan ini bisa merambat ke mana-mana. Bisa berujung korupsi saat biaya APBD yang tiap tahun digelontorkan ke sana tidak ada payung hukumnya.
Belum soal dugaan korupsinya. Polda Jabar pernah memburu dugaan korupsinya. Tapi ya itu tadi tiba-tiba juga menguap.
Juga soal hibah ke Proyek ini sebesar Rp 9 miliar pada 2019. Hibah ini juga berpotensi hukum karena negara melarang hibah diberikan kepada proyek-proyek pemkab.
ETERNIT JEBOL
Bulan lalu publik disuguhi berita bahwa di tempat wudlu pria di Tajug Gede Cilodong eternitnya jebol. Dan ini sudah berbulan-bulan dibiarkan.
Sebagai Ketua DKM Dedi Mulyadi membiarkan itu. Apakah karena beban operasionalnya berat dan kas masjid lagi bokek bisa jadi itu yang terjadi.

Itulah kenapa DKM kemudian berkirim surat ke Bupati untuk membiayai operasional masjid yang super mahal itu.
Sebagaimana proyek besar Air Mancur, nasib Tajug Gede ini akan mengalami nasib yang sama, jika tata kelolanya masih dengan pendekatan politik. Penyakit lama pejabat Purwakarta yang tidak sembuh-sembuh.
PRODUK POLITIK DINASTI
Dua proyek itu menguras APBD hampir Rp 100 miliar. Angka yang tidak kecil. Tapi percayalah keduanya bakal menjadi sebatas kenangan yang getir.
Ini terjadi akibat praktik politik dinasti yang sekarang dicoba untuk terus dikembangkan dan dipertahankan.
Produk politik dinasti adalah pembangunan tanpa visi. Karena orientasinya adalah keuntungan sesaat. Dengan membangun kronisme dan korupsi masal dan terencana.
Jangan berharap ada planning dan visi besar kalau birokrasi dikembangkan dari hasil politik dinasti.
Jenis politik ini sangat tradisionil. Tidak akan ada politik akal sehat. Yang ada hanya politik penghambaan total kepada penguasa.
Politik dinasti hanya menghasilkan proyek ilusi. Jauh dari berpihak pada masyarakat banyak. Karena yang diburu adalah kekuasaan untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya bagi penguasa dan kroninya.
Kita sekarang sudah tahu seperti apa nasib dua proyek besar itu. Hanya gemerlap di awal. Tapi sepi diujung seperti kuburan.
Dua proyek itu sekarang jadi beban. Bukan jadi aset. Karena dua proyek ini dirancang tidak dengan visi besar. Tapi diplanning agar bisa korupsi dengan aman dan pesta pora para penguasa. (newspurwakarta.com) editor : mridwan.