Kepercayaan Publik Terhadap Media Arus Utama hanya 17,1%
INSAN Pers, kemarin memeringati hari jadinya, yang ke-37. Umur yang lagi matang-matangnya untuk ukuran manusia. Tapi apa lacur. Di era teknologi informasi yang semakin canggih, Pers Indonesia malah berada di bibir jurang. Antara hidup dan mati itu soal waktu saja.
Teorema ini setidaknya dibuktikan oleh beberapa hal berikut;
Pertama, riset Dewan Pers soal kepercayaan publik terhadap media arus utama jika dibandingkan dengan media sosial (medsos). Survey yang dilakukan pada Mei-Juli 2021 ini menemukan fakta-fakta yang miris soal kepercayaan publik terhadap penjaga demokrasi ini.
Dari hasil riset itu, publik mempercayai media sosial seperti Youtube, whatsapp, Instagram, media on line, menjadi pilihan teratas sebagian besar responden dalam mengonsumsi media sehari-hari. Sementara media arus utama, berupa media online, dipilih oleh responden untuk mendapat informasi karena kecepatan menyampaikan informasi (35,5%), kemudahan diakses (25,6%) dan karena informasinya terpercaya hanya (17,1%).
“Jurnalisme warga adalah tuntutan zaman. Tugas insan pers adalah menstandardisasi agar produk mereka sesuai dengan kode etik jurnalistik.”
Data di atas tentu sangat memprihatinkan. Media arus utama dipakai publik hanya dengan presentasi 35,5% dengan tingkat kepercayaan yang sangat rendah 17,1%.
Ini tentu pukulan yang sangat telak, ketika kita semua tahu, produk Jurnalisme adalah produk dengan standard tinggi.
Yang membuat kita makin miris adalah tingkat kepercayaan publik terhadap produk media sosial yang mencapai (32,51%). Jadi publik lebih percaya produk medsos, yang tanpa standard, ketimbang produk media arus utama yang hanya 17,1%.
Dahlan Iskan mengaku stres dengan hasil riset Dewan Pers ini. “Tadinya saya berharap publik masih menempatkan media arus utama sebagai media yang paling dipercaya. Ternyata tidak. Ini tantangan berat bagi insan pers. Karena fungsi pers sebagai penjaga Demokrasi bisa berantakan,” jelas DI sapaan Dahlan.
Kedua, runtuhnya media cetak arus utama adalah bukti begitu arus perubahan zaman telah menggerus cara berbisnis semua media masa. Koran Tempo sudah tidak lagi menerbitkan edisi cetak. Majalah Temponya, meski masih bertahan tapi dengan cetakan yang terus menipis. Begitu juga dengan Jawa Pos Group, harian Kompas, harian Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Media Indonesia. Semua menurunkan oplahnya sampai 70% dan berbalik arah untuk mengelola edisi onlinenya.
Ketiga, sekarang siapapun, di manapun dan kapanpun, tanpa kecuali sudah bisa mengambil fungsi dan peran jurnalis. Bahkan dengan teknologi android, produk Jurnalisme warga bisa lebih cepat dan akurat. Karena, siapapun bisa seketika melaporkan satu peristiwa dan mengunduhnya ke kanal-kanal media sosial.
Sayangnya, produk jurnalisme warga bukanlah produk jurnalistik. Karena beberapa kaidah jurnalisme terabaikan. Tapi dari aspek faktual dan kecepatannya mereka lebih unggul. Ini tentu problematika tersendiri buat dunia pers.
AMBIL POSITIONING BARU
Masa depan pers itu ada di online. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan. Kekuatan online itu kecepatan, faktual dan apa adanya. Maka dari itu menjadi wajar produk medsos lebih dipercaya publik.
Pers mesti ambil positioning baru. Inti dasarnya mesti pro terhadap perubahan dan berpihak pada masa depan. Media yang mencoba bertahan dengan gaya lama pasti hancur digulung perubahan zaman.
“Produk media yang abai terhadap perubahan, maka ia akan tergerus oleh zaman.”
Maka dari itu, UU Pokok Pers mesti mengadopsi jurnalisme warga. UU Pokok Pers mesti menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.
Yang perlu dilakukan adalah bagaimana produk jurnalisme warga bisa menjadi produk jurnalistik, yang tidak melanggar kode etik dan sesuai dengan standard jurnalisme. Akan sangat berbahaya kalau posisi jurnalisme warga dibiarkan tumbuh liar.
Karena kalau itu terjadi, produk mereka bisa menjadi mesin menyebar hoaxs yang menyesatkan publik. Kanal-kanal Youtube sudah saatnya diatur oleh UU Pokok Pers. Sehingga kanal Youtube bisa tumbuh dengan etika jurnalisme yang tinggi.
Kita yang paham jurnalisme, selama ini hanya bisa mengurut dada, ketika satu kanal Youtube anggota DPR RI dengan subcriber 6 juta orang digunakan untuk menghancurkan problem pribadi rumah tangga lawan politiknya. Dunia pers jadi penyakitan kalau hal-hal seperti ini tidak segera dikoreksi dan diatur.
JURNALIS KREDIBEL
Insan Pers juga mesti instrospeksi diri. Mereka mesti sadar bahwa profesi jurnalisme itu pekerjaan mulia. Media mesti kembali sebagai anjing penjaga (watchdog) yang garang terhadap para koruptor, biar mereka tidak bisa tidur nyenyak.
Pers mesti tetap menjadi garda terdepan sebagai kekuatan demokrasi keempat, setelah Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif. Pers mesti tetap berkomitmen tinggi untuk membela kebenaran dan kepentingan orang banyak.
Berhentilah menjadi reporter pinggir jalan, kelas kampung. Yang sibuk memproduksi berita sampah. Berita kumur-kumur para pejabat letoy. Dan rajin meras sana meras sini. Kredibilitas pers akan bisa terjaga oleh produk jurnalisme yang punya kredibilitas tinggi.
Mari kita jaga marwah jurnalisme, agar kepercayaan publik terus naik. Dengan begitu pilar-pilar demokrasi akan tetap terjaga dan tumbuh sehat. (newspurwakarta.com) editor: gsoewarno