Dinasti Politik adalah Barang Najis dalam Sistem Demokrasi
DALAM seminggu ke belakang, drama Bupati Ambu terus bergulir. Peristiwanya berawal dari dua Sidang Paripurna yang tidak memenuhi quorum. Kesan yang sengaja ditimbulkan adalah perpecahan kongsi antara Bupati dan suaminya.
Bahwa beberapa anggota dewan yang mangkir lebih suka hadir dalam perhelatan yang digelar Dedi Mulyadi adalah fakta tak terbantahkan. Publik seolah menyaksikan ada perseteruan idiologis antar suami isteri pengusung dinasti politik itu.
Padahal faktanya, setelah kesan perseteruan itu mencuat, malam harinya, sebagai suami isteri, mereka hidup normal senormal normalnya. Tentu sambil ketawa ketiwi di kamarnya.
Beberapa media kemudian mewawancarai tokoh dan pengusaha serentak menyatakan mendukung Ambu dua periode. PKS coba diseret-seret dalam skenario ini. Tapi politisi PKS lebih cerdas, ketimbang inohong dan pengusaha yang mendukung ambu itu.
Lalu ada apa sebenarnya? Begini alur logikanya;
Bupati Ambu adalah Bupati yang berlatar ibu rumah tangga. Kapasitasnya pasti serba terbatas. Keahliannya yang sudah terbukti piawai hanya belanja dan memasak. Tapi untuk ngurusi Purwakarta, yang secara struktur keuangan dalam posisi berdarah-darah, warisan dari kinerja suaminya yang amburadul, Anne tidak punya kompetensi apapun.
“Ambu Anne dan Dedi Mulyadi tidak akan pernah pecah kongsi. Keduanya akan terus mencoba berkuasa disaat kinerja ambu lagi jeblog-jelasnya.”
Tapi klan Dedi, dengan struktur dinasti politik yang sudah dibangunnya, mesti berkuasa lagi. Pilihannya pasti jatuh ke isterinya. Logika sederhana, Dedi tentu akan dengan mudah menyetir dan mendikte isterinya.
Dan selama Anne berkuasa, cara bermainnya, pola-pola dugaan korupsinya tidak berubah. Yang berubah hanya aktor lapangannya. Polanya sama persis, jabatan-jabatan kunci dipegang oleh orang kepercayaannya. Merekalah yang kemudian diduga dengan leluasa mengatur tender.
Setiap proyek ada ongkos didepan yang mesti disetor. Besarnya tergantung nilai proyeknya. Minimal Rp 200 juta. Kemudian proyek-proyek itu dipecah kecil-kecil, agar bisa penunjukan langsung. Dan dengan leluasa bisa menggangsir 40% dari nilai proyek itu.
Kenapa dinasti politik perlu berkuasa terus? Kalau kekuasaan berhenti, dugaan kasus hukumnya bisa berdarah-darah. Karena setoran terhenti. Sudah telanjur basah kuyup. Susah menghentikannya. Maka jalan satu-satunya wajib terus berkuasa. Dinasti jalan terus di tengah hujan kritik dan perlawanan dari publik yang begitu masif.
Dinasti politik adalah barang najis dalam sistem demokrasi yang mestinya sehat. Karena dinasti politik adalah biang kerok korupsi, kolusi dan nepotisme.
Masih percaya Anne dan DM pecah kongsi? Tentu cicak di dinding pada tertawa terpingkal-pingkal.
Ketika Ambu gagal total membawa kemajuan bagi rakyat Purwakarta, maka jalan satu-satunya adalah dibangun skenario publik soal penganiayaan oleh Dedi kepada isterinya itu. Dengan harapan ada empati. Perasaan kasihan yang mengharu-biru, seolag Bupati Anne yang berhati lembut teraniaya.
Fakta yang sebenarnya terjadi adalah itulah gaya Dedi untuk mempertahankan isterinya agar bisa melenggang dengan mulus.
Jangan terkecoh. Karena kalau Purwakarta ingin maju secara benar dan lurus, dinasti politik mesti dipenggal dari kepala sampai ke ekornya. Karena pada hakekatnya dinasti politik adalah barang najis, busuk dan menggelikan. (newspurwakarta.com) editor: gsoewarno