Satu Catatan Akhir Tahun 2021
TAJUK ini adalah refleksi catatan akhir tahun tentang kondisi politik lokal di Purwakarta. Dan siapapun tahu, pembahasan ini pasti akan mengait berkelindan dengan sosok Dedi Mulyadi. Politisi kawakan yang belum menjadi politisi negarawan.
Tulisan ini kami awali dari keluh kesah seorang sahabat. “Sejak Dedi memutuskan jadi Youtuber, maka saya sedih juga. Itu artinya, dia belum paham posisinya sekarang sebagai anggota DPR RI. Apalagi langsung menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR. Baru masuk DPR langsung menjabat sebagai Wakil Ketua itu luar biasa,” ujarnya.
Ia menambahkan, mestinya Dedi sadar akan posisinya sekarang; Bahwa dia sudah menjadi tokoh nasional. “Menjadi anggota DPR RI itu tidak mudah. Perlu perjuangan fisik, pikiran, waktu, jaringan dan uang. Kalau sekarang jadi Youtuber, apalagi semua hal kemudian diangkat. Jadi seperti kehilangan orientasi. Kalau Dedi terus menerus energinya hanya untuk Purwakarta, rasanya salah arah.”
Siapapun boleh berseloroh, tapi sejatinya, Dedi adalah politisi ulung. Politisi yang orisinil. Ia memutuskan masa depannya, dia pertaruhkan di dunia politik. Hitam putih hidupnya ada di dunia politik. Pilihan bebas bagi siapapun.
Sesunggunya politik adalah dunia yang sangat mulia. Ini kalau politik ada di tangan orang per orang yang benar dan punya kredibilitas. Karena politik itulah yang akan menentukan nasib rakyat se Indonesia. Siapapun dia. Apapun strata ekonominya. Termasuk apalah agamanya. Politik dalam demokrasi adalah panglima.
Kesadaran inilah yang bisa jadi ada di Dedi Mulyadi. Ia memutuskan untuk menggeluti dunia politik karena Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mengatur segalanya, dan mendikte apapun sesuai keinginanya.
Tapi politik akan menjadi buas dan hina, ketika Ia diterjemahkan menjadi hal-hal sepele; Merebut kekuasaan, menghalalkan segala cara dan menjadikan kekuatan uang sebagai penguasa. Kalau ini terjadi, politik yang punya nilai luhur menjelma menjadi kubangan air comberan, yang kotor, hina dan busuk baunya.
PURWAKARTA KINI
Sayangnya, yang terjadi di Purwakarta adalah sebaliknya. Yang dikembangkan Dedi Mulyadi bukanlah politik demokrasi yang menjunjung tinggi sesama, menghargai perbedaan pendapat, dan kesetaraan.
Tapi yang dibangun Dedi adalah politik dinasti. Politik anti demokrasi, yang sudah terbukti dikembangkan di manapun, hanya melahirkan kesengsaraan, tumbuh suburnya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Yang mana saat reformasi meledak, KKN adalah musuh utama mahasiswa.

Politik dinasti adalah aliran politik radikal yang paling primitif dalam sejarah demokrasi di dunia. Revolusi Perancis, adalah satu periode sosial radikal yang menumbangkan kekuasaan absolut monarki pada 1789.
Dari revolusi ini, kemudian sukses membawa angin segar tentang kesetaraan hidup. Dan kemudian diterjemahkan dalam literatur modern oleh Amerika Serikat menjadi demokrasi. Semua muncul untuk mengoreksi politik dinasti yang kejam, nepotis dan hanya mementingkan kekuasaan dan kekayaan keluarganya.
Sejak kekuasan Islam di bawah Kekhalifahan empat sahabat nabi berakhir, politik Islam terjebak dalam politik dinasti. Dan sejak Muawiyah sampai Abbasiyah kesetabilan politik nyaris tidak ada. Dan di bawah kekuasaan Ustmaniah, politik Islam Dinasti akhirnya runtuh tak berbekas.
Orde Baru adalah politik dinasti di era moderen. Kekuasaan Suharto nyaris tiada lawan. Semua kekuatan kritis dibungkam. Kronisme dalam bisnis keluarga tumbuh subur. Akhirnya Orde Baru tumbang akibat membangun kekuatan politik dinasti modern saat itu.
Sejarah membuktikan. Siapa yang mencoba membangun kekuatan politik berbasis dinasti, soal tumbang itu hanya soal waktu saja. Sayangnya Dedi Mulyadi telah mengambil pilihan pahit, untuk berjalan di alur yang terjal, penuh aral dan berliku, melawan arus kuat cita-cita mulia reformasi; Tegaknya demokrasi yang egaliter dan beradab.
DUNIA LILIPUT
Manusia Liliput adalah suku bangsa fiktif yang diangkat dalam novel legendaris Jonathan Swift. Novelis asal Inggris abad 17 ini menuturkan soal Gulliver. Manusia normal yang terdampar di pulau Liliput. Di mana pulau itu dihuni oleh orang berukuran kerdil setinggi ibu jari tangan manusia.
Bangsa Liliput ini terkenal suka bertikai. Cara berfikirnya termasuk golongan sumbu pendek. Bisa jadi karena antara otak dan perut jaraknya terlalu dekat. Kekerdilan mereka tercermin dari sikap hidupnya. Jiwanya benar-benar kerdil. Lahir dan batin. Yang sering menganggap perkara enteng menjadi ancaman serius.
Semula Gulliver dimusuhi oleh bangsa Liliput ini. Belakangan mereka akhirnya bersahabat. Karena Gulliver dinilai terbukti sukses menyatukan bangsa Liliput yang terpecah belah. Sebenarnya, ada novel lain yang lebih seru. Saat Gulliver terdampar di pulau raksasa. Tapi seri ini kalah populer ketimbang saat Gulliver terdampar di pulau Liliput.
MENJADI PRESIDEN
Kini Dedi sedang mencoba atau dicoba? Diusung oleh pendukungnya untuk disiapkan maju menjadi calon Presiden pada 2024 mendatang. Tentu ini hak politik dia dan mereka yang mendukungnya. Group-group di Facebook sudah bermunculan.
Ada ‘Kang Dedi Mulyadi untuk Indonesia.’ Ada juga ‘Fans Kang Dedi Mulyadi.’ Yang lainnya ‘Kang Dedi Mulyadi Indonesia (Fans Club).’ Dan beberapa group sejenis lainnya. Di media sosial lainnya juga mulai berserakan. Sebagai Youtuber dengan follower 6 juta orang, bisa jadi konteksnya untuk menjangkau cita-cita itu. Dan itu sah-sah saja.

Tapi menakar Dedi Mulyadi for Presiden, kayaknya untuk saat ini kelewat berlebihan. Dengan banyak persektif yang beraneka macam.
Indonesia kini perlu pemimpin yang genuin dan ori 100%. Pemimpin yang kaya akan kerja riil. Politisi yang negarawan. Pemimpin yang paham betul akan makna demokrasi.
Indonesia yang sebegitu besar sebagai negara bangsa, problemnya juga tidak kalah besarnya. Memilih pemimpin Indonesia pasti membutuhkan pemimpin yang kuat di dunia nyata. Bukan hebat dan populer di dunia medsos. Karena Indonesia adalah negara kepulauan yang nyata, bukan negara bangsa yang fiktif, yang dibangun oleh kekuatan halusinasi dan imajinasi akut.
Dedi kalau ingin jadi Presiden mesti banyak-banyak mengoreksi diri. Ke dalam. Dengan sungguh-sungguh. Mesti banyak membaca buku-buku kelas berat, soal bagaimana membangun dan menata Indonesia.
Dalam soal bermedsos misalnya. Dedi mesti banyak belajar ke Refly Harun. Atau berguru di Hersubeno Arief point. Atau dengan kawan sejawatnya yang berlatar politik Akbar Faisal Uncensored. Sehingga konten-kontennya berkelas. Penuh semangat membangun jiwa bangsa. Bukan konten yang aneh-aneh, mengumbar kemarahan di depan publik. Apalagi konten berkualitas K-pop yang mengangkat problem rumah tangga seseorang, diulas habis ke ruang publik.
Khusus urusan yang satu ini, jika Dedi Mulyadi ingin menjadi pemimpin bangsa, mesti diubah total konsepnya. Ubah secara radikal.
BERKARYA DI RUANG SUNYI
Maka dari itu, pilihan Dedi sebenarnya menjadi sederhana. Ia mesti berpolitik ala negarawan. Memberi ruang yang luas bagi siapapun untuk jadi pemimpin di Purwakarta. Tidak perlu takut untuk bertarung. Kunci utamanya tentu meninggalkan politik dinasti. Aliran politik yang mengkhianati cita-cita reformasi
Aliran demokrasi primitif ini, buat Dedi sejatinya mesti ditinggalkan. Tunjukkan bahwa dirinya adalah politikus sejati, yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Dedi juga kelewat lebay ketika memutuskan menjadi youtuber sejati. Meski itu hak dia sepenuhnya. Tapi percayalah. Pemimpin sejati itu adalah mereka yang bekerja dengan rakyat di ruang-ruang sunyi. Bukan politik hasil kemasan yang hidup bergairah kalau di depan sorot kamera. Sudah pasti rendah tingkat orisinalitasnya.
Kalau Dedi kemudian mempertahankan jati dirinya sebagaimana selama ini, maka pada hakekatnya ia sedang mengusung demokrasi Liliput. Demokrasi yang kerdil dan childish. Demokrasi yang kelewat kekanak-kanakan. Wallahu’alam bisha-shawab. (newspurwakarta.com) editor : mridwan