Singapura Memutuskan untuk Mengabaikan Covid-19
ADA kebodohan kolektif yang terus dipelihara oleh para pejabat di Pemkab Purwakarta. Yaitu terus panik menghadapi wabah Corona. Padahal virus jenis ini adalah flu biasa dan tidak lebih dari urusan jualan vaksin yang sudah telanjur dibeli, tapi bandarnya diduga belum balik modal.
Percayalah. Begitu sudah untung dari jualan vaksin, maka isyu soal Corona bakal mereda.
Lalu apa argumennya? Begini;
Pertama, Sikap Singapura dan beberapa negara Eropa yang sudah memutuskan untuk mengabaikan wabah ini adalah keputusan realistis. Singapura adalah negara bisnis. Melihat wabah yang terus menggerus ekonomi mereka, sikap balik kanan mereka adalah keputusan yang tepat. Singapura tentu memutuskan ini dengan basis riset yang kuat. Dan kini Singapura memutuskan hidup normal berdampingan dengan Corona. Karena mereka anggap ini flu biasa. Titik.
“Kenapa pasien positif yang dibawa ke rumah sakit , diduga lebih banyak yang meninggal ketimbang mereka yang memutuskan isoman di rumah. Berapa persen yang meninggal karena murni oleh Covid dan berapa persen karena ada penyakit bawaan. Mestinya data ini dibuka ke publik.”
Kedua, sumber-sumber ilmiah kedokteran menyebut varian Delta yang dari India ini memang daya tularnya lebih ganas, tapi daya bunuhnya rendah dari varian sebelumnya. Laku kenapa panik?
Ketiga, kan banyak yang mati di rumah sakit? Ada dua hal yang perlu dijawab jujur oleh pemerintah. a. Kenapa yang divonis positif dan dirawat di rumah sakit diduga lebih banyak yang mati ketimbang yang memutuskan isolasi mandiri di rumah. b. Berapa persen pasien covid yang meninggal di rumah sakit yang murni akibat Corona dan yang meninggal karena ada penyakit bawaan? Ayo jujur, buka datanya ke publik.
Keempat. Kenapa publik seolah cuek dengan corona? Sementara itu para pejabat kerjanya cuma bisa menghimbau saja? Karena rakyat terdesak ekonomi sementara dengan cara bodoh Corona bisa kita tangani dengan mudah hanya dengan istirahat cukup, makan enak, sediakan minyak kayu putih, madu, minum air kelapa, berjemur di bawah terik pukul 00.90. Selesai urusan.
Kelima, tidak ada jaminan vaksin mampu meredam wabah ini. Ini dibuktikan dengan jutaan vaksin massal sudah dilakukan, malah wabah makin menggila. Analis pakar kedokteran seperti mantan Menkes Siti Fadhilah Supari menyatakan tidak akan efektif wabah dilawan dengan vaksin. Karena jenis vaksin sudah tidak cocok dengan perubahan struktur virusnya. Nah loh. Terus ikuti informasi yang berkembang di medsos, cerita efek dari vaksinasi itu luar biasa. Ada yang meninggal, ada yang buta, ada yang lumpuh. Ada yang tiba-tiba besi bisa nempel di titik bekas suntikan. Ayo jujur berapa ribu orang yang terkena efek vaksin. Buka dong ke publik?
Keenam, pandemi ini adalah produk rekayasa. Membuktikannya sederhana. Vaksin gelombang pertama yang diborong pemerintah kadaluwarsa pada Desember 2020. Umur vaksin, menurut Menkes saat itu, dua tahun. Artinya vaksin ini diproduksi 2018. Persis setahun sebelum pandemi ini muncul. Dugaan relayasanya terang benderang.
KEPANDIRAN KOLEKTIF
Lalu bagaimana baiknya? Untuk terus menjadi pandir secara kolektif adalah pilihan. Konsekuensinya tidak ringan. Menguras APBD, ekonomi rakyat hancur, kemiskinan meningkat. Dan ini yang menyebalkan; hakekatnya Pemkab sudah tidak berdaya karena keuangan lagi parah-parahnya. Maka dari itu Kadinkes Deni Darmawan kerjanya kayak pejabat yang kurang kerjaan, hanya bisa menghimbau dan menghimbau saja. Naif dan sangat mengharukan.
Yang realistis itu ya ikuti saja langkah negara maju seperti Singapura. Anggap ini flu biasa, dan ajari warga bagaimana menghadapi flu ini dengan kembali ke alam. Selesai urusan.
Kuncinya, konsisten dengan new normal. Hidup berdampingan dengan Corona. Kemudian fokus kembali membangun.
Kalian yang masih panik dengan Corona kembalilah ke jalan yang benar. Soal bandar vaksin yang belum balik modal itu? Akh …. biarlah sekali-kali rugi. Dalam bisnis rugi itu biasa saja.
Ayo kepandiran kolektif, hentikan. (newspurwakarta.com) editor : gsoewarno