Dedi Mulyadi saat Sidak tidak Segalak Ketika Bersih-Bersih Pasar
SUDAH dua minggu lebih, nasib petani yang gagal panen akibat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dibiarkan oleh Pemkab Purwakarta. Meski Bupati tahu penderitaan para petani itu, tapi tidak ada langkah apapun untuk mengatasi problem itu.
Menyelesaikan problem pelik memang butuh intelektualitas yang cukup dan memadahi. Sebagai Bupati berlatar ibu rumah tangga, memang akan sulit memberi solusi yang cepat dan cerdas, akibat nir strong leadership.
Bupati tentu tahu betul, bahwa kemiskinan baru akibat proyek PLTMH itu, akan membuat susah rastusan warganya di dua desa. Yaitu Desa Pondok Bungur dan Desa Salem. Keduanya ada di Kecamatan Pondoksalam Purwakarta.
Akibat kali Ciherang dibelokkan untuk proyek PLTMH, maka di dua desa itu, lahan sawah seluas 30 ha jadi rusak. Yang sebelum ada proyek itu bisa panen dalam setahun tiga kali. Sejak adanya proyek itu, maka petani di dua desa itu hanya bisa panen sekali dalam setahun.
“Proyek yang dalam perencanaan salah hitung ini bisa lolos, patut diduga akibat adanya aliran uang pelicin saat proses perizinan terjadi.”
Biang kerok persoalan ini adalah pembangunan PLTMH yang berdiri di Desa Pondok Jaya Kecamatan Pondoksalam dan yang mendapat persetujuan izin oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi pada 2016. Dedi sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR RI.
Proyek ini dibangun oleh PT Renerpha Energi Utama (REU). Berdiri pada 2013, perusahaan ini pada 2014 diakuisisi oleh PT Enviromate Techonogy International (ETI), untuk kemudian dijadikan akan usahanya.
UANG PELICIN
Kalau kita lihat ke lokasi pembangkit itu, kali Ciherang di Desa Pondok Jaya dibendung. Air kemudian dialihkan ke sodetan yang dibuat oleh PT REU. Besarnya saluran sodetan itu lebar 2 meter dan kedalaman 2 meter. Aliran kali buatan itu mengular sampai sepanjang 2 Km lebih.
Aliran itu sempat dialihkan ke dalam bukit yang dibongkar dan ditimbun lagi. Aliran kali Ciherang itu dialihkan hampir 80% lebih. Akibatnya, sisa air yang mengalir ke sawah petani menjadi sangat berkurang.
Bagi PT REU, ini adalah proyek pertamanya. Dari segi kompetensi patut diragukan. Efeknya adalah salah hitung. Perusahaan ini tidak menghitung secara akurat apa dampak dari pengalihan aliran kali Ciherang terhadap produksi pertanian. Akibatnya kini menjadi persoalan pelik.
Salah hitung dalam perencanaan, mestinya bisa diatasi jika Dinas Pertanian yang terlibat dalam tim perizinan Pemkab itu juga paham bahwa itu akan berdampak pada persoalan petani.
Lolosnya proyek yang salah hitung ini bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, tim perizinan Pemkab Purwakarta memang tidak kompeten dalam urusan proyek ini. Kedua, bisa jadi perizinan diloloskan tanpa pertimbangan yang jeli akibat dugaan aliran uang ‘pelicin’ dalam proses perizinan itu.
Publik juga sangat menyayangkan sikap Dedi Mulyadi yang saat sidak ke lokasi tidak segalak seperti ketika menyelesaikan soal kebersihan di pasar-pasar Purwakarta. Dedi saat bertemu dengan perwakilan dari PT REU hanya bisa menghimbau agar perusahaan bisa mencari jalan keluar problem pemiskinan petani ini.
Dedi Mulyadi jadi lembek bisa disebabkan banyak hal. Misalnya merasa bersalah. Apapun izin ini terbit saat DM berkuasa. Yang kini ternyata satu kebijakannya telah secara sempurna membuat miskin petani, di dua desa itu.
Padahal untuk menyelesaikan problem ini gampang. Pertama, bandungan itu dibongkar akibat salah hitung. Atau kedua, aliran airnya diatur. Saat petani butuh untuk pengairan, maka sodetan itu ditutup dan air sepenuhnya menjadi jatah petani.
Mengatur ulang aliran air pasti akan berdampak merugikan perusahaan itu. Kalau itu terjadi wajar dan biasa saja dalam bisnis. Kalau bisnis salah hitung dan memicu persoalan sosial memang akan berdampak rugi. Ini ketimbang, kesabaran petani habis dan ramai-ramai menghancurkan bendungan itu. (newspurwakarta.com) editor : gsoewarno