SISTEM BIROKRASI DAN LAYANAN PUBLIK MASIH CARUT MARUT
PEKAN lalu, Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika mendapat hadiah istimewa dari BPK. Yaitu predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Ini artinya, oleh BPK kinerja Bupati dinilai kinclong dan ngedhab-ngedhabi. Pokoknya jozzz bener deh. Tapi tunggu dulu, …. Apa benar …. ? Ayo kita lihat;
Pertama, predikat WTP ini sebatas administratif. Rapi pertanggung jawabannya secara administratif. Meskipun, bisa jadi prosesnya hasil manipulatif. Buat BPK gak penting. Yang penting rapi secara administratif. Jadi predikat WTP itu tidak terkait dengan sebagus apa Bupati melayani rakyatnya, sebersih apa kinerja birokasi, bersih dari dugaan korupsi. Blasss tidak ada kaitannya.
Maka dari itu, jangan bangga dulu, dapat predikat WTP sampai enam kali. Bupati dan rakyat boleh bangga ketika predikat WTP berbanding lurus dengan nyamannya masyarakat mendapat layanan dari birokrasi dan bersihnya birokrasi dari korupsi.

Kedua, mari kita lihat betapa predikat WTP yang baru disandangnya tidak mengait secuilpun dengan bagusnya layanan publik dan semrawudnya tatanan birokrasi di Purwakarta. Begini;
Dua pekan lalu, publik dibuat geram terhadap kinerja Kantor Layanan Satu Pintu di Bale Madukara. Ini proyek dibangun dengan menggusur pedagang pasar. Juga didanai oleh APBD puluhan miliar. Dan konon jadi proyek percontohan, karena mall layanan satu satunya di dunia.
Tapi apa yang masyarakat rasakan ketika ngurus KTP di gedung itu? Dilempar ke sana ke mari. Tidak jelas jluntrungannya. Apalagi cara pengelola melayani pengunjung sungguh tidak pantas untuk diceritakan. Amatiran dan kampungan.
Begitu mencuat di publik, hujan hujatan membanjiri Bupati. Angan-angan mendapat layanan yang praktis dan efisien hanya sebatas omong kosong. Apa pantas Bupati mendapat predikat WTP? Akh … naif bener BPK.
Ayo kita lihat bagaimana tata kelola Bupati menangani Tenaga Harian Lepas (THL). Ini lebih memalukan lagi. Saat baru menjabat THL dipangkas habis, karena membebani keuangan Pemkab. Saat itu, honor untuk THL sampai tembus Rp 45 miliar per tahun.
Dalam kasus THL ada dua skandal yang serius. Pertama, dari aspek jumlah. Tidak ada data apapun di Pemkab yang tahu soal itu. Bahkan, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang mestinya menangani soal tetek bengek terkait SDM, ketika ditanya aktivis Komunitas Peduli Purwakarta (KPP), jawabnya, tidak tahu. Aneh bin ajaib.
Apa efeknya kalau data menjadi kayak siluman seperti itu? Kebocoran anggaran. Dan ini diduga sudah terjadi di Satpol PP baru-baru ini. Jumlah yang harus dibayarkan diduga lebih besar ketimbang jumlah petugas THLnya. Siapa yang menikmati sisa pembayaran ini? Wallahu’alam. Apakah BPK masuk ke penilaian kualitatif seperti ini? Tidak.
Sepanjang laporan administrasinya bagus. Rapi. Ya BPK mengganggap THL baik-baik saja.
Keanehan kedua terkait THL adalah pada 2020. Honor THL ada kode rekeningnya di APBD. Padahal UU tentang Keuangan Daerah wajib menghapus THL. Bahkan pada 2020 dari APBD sampai menggelontorkan honor untuk THL tembus lagi sampai Rp 45 miliar lebih. Pejabat BKD Pemkab Purwakarta, kepada KPP, LSM antikorupsi di Purwakarta, bahkan menyebut sampai Rp 50 miliar.
Kalau anggaran ada Kode Rekeningnya, maka satuan anggaran itu harus ada payung hukumnya, yaitu Peraturan Bupati. Apakah Perbup soal THL pada tahun 2020 ada? Hanya Bupati Anne Ratna Mustika dan Allah SWT yang tahu.
Ayo kita lihat betapa carut-marutnya soal tata kelola manajemen pembangunan Tajug Gede Cilodong. Terutama aspek hukumnya. Publik tahunya, Masjid itu adalah aset Pemkab. Kalau itu aset Pemkab, kenapa Pemkab diduga menolak membiayai operasional masjid? Sehingga akhirnya biaya operasional dibayar oleh pihak ketiga.
“Apa efeknya kalau data menjadi kayak siluman seperti itu? Kebocoran anggaran. Dan ini diduga sudah terjadi di Satpol PP baru-baru ini. Jumlah yang harus dibayarkan diduga lebih besar ketimbang jumlah petugas THLnya. Siapa yang menikmati sisa pembayaran ini?”
Atau kalau itu aset Pemkab? Kenapa pada 2019 ada alirah hibah ke Tajug Gede Cilodong? Aneh bin ajaib. Apakah BPK tutup mata soal ini? Pasti. Karena dalam kasus Tajug Gede, pasti dengan mudah administrasi dibuat rapih. Bersih. Kinclong.
Atau kalau itu bukan aset Pemkab, kenapa bertahun-tahun digelontorkan dana dari APBD untuk membangun kawasan itu? Lalu adakah payung hukum pembangunan kawasan Tajug Gede Cilodong? Lagi-lagi hanya Bupati Ambu dan Allah SWT yang tahu.
Kita yang tahu soal-soal gini sungguh merasa sangat prihatin. Pemkab dikelola dengan cara-cara tidak lazim. Tanpa ada transparansi. Amatiran, dan sungguh acakadul dul dul dul. Lebih menjengkelkan lagi ketika kita tahu bahwa wakil rakyat di DPRD sana juga diam seribu bahasa. Seolah tutup mata dengan keadaan yang sudah sangat rusak ini.
Kalau mau dikupas habis, masih banyak dugaan cacat birokrasi yang terjadi. Dan kemudian kita akhirnya, hanya bisa ambil kesimpulan bahwa : WTP yang baru saja diraih oleh Bupati itu sungguh jauh panggang dari api. Intinya mah …. memprihatinkan. Karena raihan WTP tidak terkait dengan kinerja yang bagus.
Ketua Projo Purwakarta Asep Burhana di laman Fbnya menulis gini : “Publik mesti tahu bahwa opini WTP itu hanya diukur dalam kerapihan dalam tata kelola administratif saja. Jadi laporan keuangan secara administratif benar. Karena untuk mendapatkan opini WTP, tidaklah sulit. Cukup hanya perlu seorang administratur yang bisa bekerja secara rapih saja.”
Masih kata kang Asep,”Tapi secara moralitas korupsi belum tentu lurus. Korupsi, yang terkait dengan moralitas etik dan transparansi birokrasi, berada di sisi lainnya.”
Jadi, meski mendapat opini WTP, praktik perbanditan dalam menggarong keuangan tetap jalan terus ya kang Asep? (newspurwakarta.com) editor : gsoewarno