POLITIK DINASTI SEBAGAI AKAR MASALAH
KEMARIN kita memeringati hari Anti Korupsi se Dunia. Ini tentu momen penting untuk refleksi, bagaimana kondisi dugaan perbanditan uang APBD di Pemkab Purwakarta. Yang kalau kita boleh istilahkan masih bermuram durja. Atau laiknya Dewi Sri yang sepanjang laku tapanya menangisi nasibnya yang tragis, tak berkesudahan.
Kita tentu prihatin. Kondisi laku koruptif di Purwakarta dalam rentang 13 tahun, hingga detik ini. Dugaan korupsi sudah menjadi budaya luhur. Makin banyak korupsi, makin tinggi kredibilitasnya. Dugaan korupsinya kelas kakap, tapi yang sukses ditekuk sampai meringkuk di penjara selalu kelas yang teri. Kecil-kecil.
Kita bisa lihat beberapa contoh; Dugaan korupsi di proyek jalan lintas Barat yang menghubungkan Kecamatan Maniis dengan Kecamatan Sukasari. Isolasi belum 100% terbuka. Tapi pesta pora kontraktornya sudah tuntas. Kini kondisi jalan mulai patah-parah dan hancur.
“Akar masalah berbagai dugaan korupsi kakap di Purwakarta adalah dipertahankannya politik dinasti.”
Di proyek ini total APBD yang digelontorkan sampai Rp 200 miliar. Kontraktornya juga kroninya Bupati saat itu. Proyek besar, dugaan penyimpangannya juga tidak kalah besarnya. Apakah pernah diproses secara hukum? Tidak. Karena menyangkut penguasa dan kroninya.
Kita lihat proyek wisata Air Mancur Sri Baduga di situ Buleud. Ratusan miliar dana digelontorkan untuk proyek itu. Pemenang tendernya ya kroninya penguasa. Itu-itu juga. Proyek air mancur yang konon terbesar se Asia Tenggara ini penuh dengan dugaan korupsi.
Kasus dugaan korupsi dimekanik-elektriknya pernah disidik Kejati Jabar. Kontraktor dan beberapa pejabat sempat diperiksa. Apakah kasus ini berlanjut? Tidak. Terhenti secara misterius. Kayak kentutnya mang Jojon,”Brooot …” Bau busuk, orang pada kasak-kusuk dan menghilang.
Dugaan lain yang sampai sekarang menjadi tanda tanya publik adalah pengelolaan dana CSR oleh Yayasan Yudhistira. Yayasan ini diduga tanpa payung hukum yang jelas mengelola dana CSR selama bertahun-tahun. Bisa jadi per tahun ratusan miliar rupiah dana CSR yang mestinya menjadi hak rakyat miskin dikelola oleh Yayasan ini.
Hingga Yayasan ini vakum, tidak pernah ada audit terhadap tata kelola keuangan yayasan itu. Apakah pernah secara serius diungkap skandal CSR ini? Tidak pernah. Padahal ini perkara gampang. Kalau ada komitmen anti korupsinya.
Belum soal dana Siltap pada akhir 2017 yang tidak diberikan kepada para Kades dan Perangkatnya. Nilainya Rp 35 miliar. LSM anti Korupsi yang sekarang lagi tidur pules, KPP pernah melaporkan masalah ini ke KPK. Tapi juga raib ditelan ombak laut kidul.
Pada awal Bupati Anne Ratna Mustika berkuasa, langsung ada skandal dana hibah Rp 1 miliar ke Kejari Purwakarta. Saat terungkap ke publik dan Polda Jabar waktu itu sempat menggeledah ruang kerja Sekda. Tapi ya itu tadi. Tiba-tiba kasusnya hilang entah ke mana perginya.
Yang tidak kalah ngerinya itu dugaan korupsi di proyek Tajug Gede Cilodong. Sejak awal dari banyak sisi, ini proyek bermasalah. Makanya KMP pimpinan Zaenal Abidin, MP terus memburu dugaan korupsi di proyek ini. Kejati pernah mencoba mengusut kasus ini. Tapi entah kenapa, laiknya air yang tumpah ditumpukan pasir. Amblas tak berbekas.
Dugaan mafioso proyeknya juga diduga tidak berubah, pola dan sistem kerjanya. Dana proyek yang bersifat Penunjukkan Langsung (PL) diduga dibuat besar. Media ini pernah menghitung, sebesar 40% proyek dibuat dalam skema PL. Kenapa bisa terjadi? Karena mudah korupsinya, mudah ngatur-aturnya. Satu pemborong kepada media ini pernah bercerita kalau potongan proyek PL sampai 40%.
Apakah penegak hukum pernah menyentuh skandal ini? Tidak. Melirik pun ogah. Bisa jadi bagian dari yang selama ini ikut menikmatinya. Entah lah.
Dugaan permainan tender juga masih aman dan nikmat. Pola kerjanya masih sama. Ada utusan sang penguasa. Mendatangi para kontraktor. Di ruang-ruang gelap itulah semua diatur. Di depan minta dana taktis. Bisa Rp 200 juta atau Rp 300 juta tergantung nilai proyeknya.
Begitu closing, diduga giliran ULP yang menuntaskan. Setuntas-tuntasnya. Seolah ada tender beneran. Padahal diduga sudah selesai siapa pemenangnya sebelum tender itu terjadi. Cara bermainnya diduga sama, pola dan siapa pemutusnya. Yang berbeda adalah operator lapangannya. Dulu si anu, sang pengusaha itu. Sekarang tuan Aa. Apakah aparat pernah mencoba mengungkap kasus ini? Tidak.
Belum soal lain. Seperti dugaan jual beli jabatan yang pemainnya orang itu-itu lagi. Dugaan korupsi di PDAM, kasus majalah Sawala, GPTV, dan lain-lain. Dan lain-lain.
AKAR MASALAH
Bupati Anne kalau kita lihat kinerjanya memang mencoba memperbaiki borok di sana-sini. Ia gandeng KPK untuk supervisi. Tapi laiknya si punduk merindukan bulan. Antara ucapan dan tindakan seperti bumi dan langit. Atau laiknya siang dan malam. Kontras dan penuh kontradiksi.
Perbaikan jalan terus, tapi dugaan korupsnya makin kenceng. Alias, sami mawon. Pencitraan yang dibangun dinasti untuk menutupi kesalahan dugaan korupsi masa lalu, tidak akan hilang. Sehebat apapun pencitraan yang dibangun di medsos.
Korupsi memang sumbu pendek untuk mendapatkan uang besar dalam waktu singkat. Dan memang ngeri-ngeri sedap.
Penguasa yang pro dinasti politik pada ujungnya untuk membuat lancar praktik koruptif ini. Kenapa di Purwakarta dugaan korupsi susah bener diberantas? Itu karena akar masalahnya tidak dipenggal lehernya.
Selama akarnya, berupa praktik politik dinasti melanggeng, maka sepanjang masa itu dugaan korupsi akan terus mewabah. Akan menjadi budaya. Kelak di Purwakarta kalau tidak korupsi akan muncul rasa malu. Pejabat jujur akan dikucilkan. ASN yang punya prestasi tidak akan bagus kariernya, karena dia anti korupsi.
Para penjahat berdasi yang tiap tahun menggarong APBD lupa bahwa hidup itu punya siklus. Kalau kerusakannya sudah berdarah-darah dan para penggiat anti korupsi pada diteror dan dibuka kelemahannya, maka karma dari yang maha segala maha yang akan bergerak mengatur; Agar pada bandit itu terperosok ke lubang comberan yang paling hina, kotor dan busuk baunya. (newspurwakarta.com) editor : gsoewarno